Namun pernyataan Endipat mengindikasikan bahwa kritik, terutama kritik yang viral, dianggap sebagai ancaman yang harus dilawan dengan kekuatan digital pemerintah.
Ini adalah paradigma komunikasi kekuasaan yang usang mengelola persepsi ketimbang memperbaiki kinerja. Padahal, jika penanggulangan bencana negara terbukti efektif, publik tidak akan ragu mengakui. Viral atau tidak, fakta lapangan lebih kuat dari propaganda.
Relawan tidak perlu “dikalahkan”, mereka perlu dirangkul. Mereka bukan kompetitor pemerintah, tetapi jaringan penyelamat yang sering kali mengisi celah yang birokrasi lambat untuk menutup.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Siapa yang Sebenarnya Diwakili?
Dalam kondisi di mana rakyat sedang menderita, wakil rakyat seharusnya berdiri sebagai suara empati, pengawas penggunaan anggaran, dan penghubung kebutuhan daerah dengan pemerintah pusat. Namun pernyataan Endipat justru mengemukakan pertanyaan penting:
• Apakah ia mewakili aspirasi masyarakat terdampak?
• Ataukah ia mewakili kebutuhan pemerintah untuk memperbaiki citra?
• Mengapa fokusnya adalah narasi publik, bukan validasi lapangan?
• Mengapa relawan menjadi sasaran kritik, bukan sistem penanganan yang harus dievaluasi?
Editorial ini tidak mengadili pribadi. Tetapi sebagai pejabat publik, seorang anggota DPR wajib memahami sensitivitas bencana. Kata-kata memiliki dampak. Dalam tragedi kemanusiaan, retorika kompetitif bukan hanya tidak pantas, tetapi juga mencederai kepercayaan rakyat terhadap wakilnya sendiri.
Bencana Bukan Panggung Kekuasaan
Tragedi bukan ruang untuk debat angka. Bukan ajang adu viral. Bukan kompetisi antara relawan dan negara. Bencana adalah ruang moral bagi kemanusiaan untuk bekerja tanpa hierarki.
Pernyataan Endipat menunjukkan betapa jauhnya sebagian pejabat kita dari etika kelembagaan dan nilai dasar solidaritas. Alih-alih merendahkan gotong royong masyarakat, seorang wakil rakyat seharusnya menjadi jembatan, memastikan bahwa anggaran triliunan benar-benar menyentuh rakyat, dan memastikan relawan bekerja dengan dukungan, bukan kecurigaan.
Karena pada akhirnya, sejarah tidak mencatat siapa yang paling banyak bicara.
Sejarah mencatat siapa yang hadir ditengah Kondisi Darurat.
Penulis : Vatawari
Halaman : 1 2
















