Soekarno berkeliling dengan sebuah jeep pinjaman Inggris menyerukan gencatan senjata. Gencatan senjata dilakukannya seraya menunggu hasil perundingan antara Indonesia dan Inggris (Sekutu). Meskipun gencatan disepakati oleh aksi, tembak-menembak secara sporadis masih terus terjadi di berbagai tempat. Pada 30 Oktober 1945, mobil Buick yang ditumpangi A.W.S. Mallaby menjadi sasaran tembakan saat hendak melintasi di Jembatan Merah. Terjadi baku tembak di tempat itu yang berakhir dengan tewasnya Mallaby. Sementara itu, mobil hangus terbakar akibat ledakan sebuah granat. Kematian Mallaby itu menjadi dalih bagi Inggris untuk menggempur rakyat Surabaya dan menuntut “menyerah tanpa syarat”. Pada tanggal 7 November 1945, pemimpin baru tentara Inggris, May Jend. E.C. Marsegh menulis surat kepada Gubernur Soeryo. Inti surat itu yaitu kecaman atas kematian Mallaby serta tudingan bahwa Gubernur tidak mampu mengendalikan rakyat. Soeryo pun membalas surat pada tanggal 9 November.
Dia membantah semua tuduhan, Marsegh kembali membalasnya dengan nada tegas dan keras. Surat balasan berisi ultimatum yang mengharuskan untuk menandatangani dokumen berisi penyerahan tanpa syarat dan pemuda yang bersenjata untuk menyerahkan semua senjata sambil membawa bendera putih. Penyerahan tanpa syarat harus dilakukan paling lambat pada 10 November pukul 06.00. Jika ultimatum tidak diindahkan, Inggris akan mengerahkan seluruh angkatan perangnya untuk menghancurkan Surabaya. Tepat pukul 22.00, pada tanggal 9 November setelah berunding dengan pemerintah pusat, Gubernur Soeryo menolak ultimatum. Penolakan disiarkan melalui radio.
Setelah batas waktu habis, pertempuran tidak terelakkan. Kontak senjata pertama terjadi di Tanjung Perak. Di tempat itu, pasukan Inggris berhasil mengendalikan perlawanan rakyat. Banyak korban berjatuhan. Namun, rakyat bersama TKR(Tentara Keamanan Rakyat) Terus melakukan perlawanan. Mereka memilih “merdeka” atau “mati”. (Red)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Halaman : 1 2