Penurunan ini juga tercermin dari harga jual hewan kurban yang turut menyesuaikan pasar. Harga sapi yang biasanya bisa menembus belasan hingga puluhan juta rupiah kini turun, dimulai dari Rp14 juta per ekor. Namun, meski harga turun, tetap saja minat masyarakat minim.
Bahkan, Ben mengaku banyak warga yang menghubunginya, meminta bantuannya untuk menjualkan hewan ternak pribadi mereka, karena tak sanggup menanggung biaya perawatan di tengah kesulitan ekonomi.
Tak hanya dari sisi peternak, dampak lemahnya ekonomi masyarakat juga terlihat di rumah-rumah ibadah. Beberapa masjid dan surau terpaksa mengurangi jumlah hewan kurban tahun ini karena kurangnya partisipasi dari jamaah.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Surau Al-Faizun yang terletak di Desa Tanjung Harapan, Kecamatan Singkep, adalah salah satu contohnya. Ketua pengurus Surau, Andre, mengungkapkan bahwa jumlah hewan kurban mengalami penurunan signifikan dibandingkan tahun lalu.
“Tahun ini hanya ada dua ekor sapi yang dikurbankan. Tahun lalu kami punya empat ekor. Ini jelas turun. Sepertinya faktor ekonomi penyebabnya. Banyak yang ingin berkurban, tapi memang kondisi keuangan mereka tak memungkinkan,” jelas Andre.
Situasi ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh kondisi ekonomi terhadap pelaksanaan ibadah tahunan umat Islam ini.
Di satu sisi, Idul Adha adalah momentum berbagi dan berkurban, namun di sisi lain, realitas ekonomi menggerus semangat itu, terutama bagi mereka yang selama ini menggantungkan hidup dari sektor peternakan dan perdagangan hewan kurban.
Jika kondisi ini terus berlangsung hingga hari-H, bukan tidak mungkin Lingga akan mencatat rekor terendah partisipasi hewan kurban dalam beberapa tahun terakhir.
Para peternak pun hanya bisa berharap keajaiban di hari-hari terakhir, sembari berjuang agar roda usaha mereka tetap bisa berputar di tengah gejolak ekonomi yang belum menunjukkan tanda-tanda pulih.
Penulis : Cahyo Aji
Halaman : 1 2