Menyelami Perbedaan Serta Kekerabatan Antara Orang Melayu Sekanak dan Orang Laut di Masa Kesultanan Riau-Lingga - ihand.id | Informasi Harian Andalan Indonesia    

Menyelami Perbedaan Serta Kekerabatan Antara Orang Melayu Sekanak dan Orang Laut di Masa Kesultanan Riau-Lingga

 Menyelami Perbedaan Serta Kekerabatan Antara Orang Melayu Sekanak dan Orang Laut di Masa Kesultanan Riau-Lingga

warga suku Laut menggunakan sampan dayung beratap kajang (semacam daun nipah) untuk hidup secara nomaden atau berpindah-pindah di perairan sekitar Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau (foto: ist)

Ihandpedia – Kesultanan Riau-Lingga, yang pernah menjadi salah satu pusat kekuasaan maritim paling penting di wilayah Kepulauan Riau, menyimpan kekayaan budaya yang tak ternilai. Dua kelompok etnis yang menonjol dalam kisah kesultanan ini adalah Orang Melayu Sekanak dan Orang Laut.

Meskipun keduanya berbagi akar budaya dan sejarah, gaya hidup, serta cara berinteraksi dengan lingkungan laut, terdapat perbedaan yang signifikan yang membuat keduanya unik dalam peran mereka selama masa kejayaan Kesultanan Riau-Lingga.

warga suku Laut menggunakan sampan dayung beratap kajang (semacam daun nipah) untuk hidup secara nomaden atau berpindah-pindah di perairan sekitar Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau (foto: ist)
warga suku Laut menggunakan sampan dayung beratap kajang (semacam daun nipah) untuk hidup secara nomaden atau berpindah-pindah di perairan sekitar Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau (foto: ist)
Orang Melayu Sekanak: Penjaga Pesisir dan Tradisi

Orang Melayu Sekanak adalah masyarakat yang mendiami daerah pesisir di sekitar Teluk Sekanak dan pulau-pulau kecil yang kini berada di Kabupaten Lingga.

Sebagai kelompok yang secara historis terikat dengan daratan, mereka hidup dari kekayaan alam pesisir, terutama dalam bidang pertanian dan perikanan.

Kehidupan mereka dipusatkan pada desa-desa pesisir yang menjadi fondasi bagi keberlangsungan budaya Melayu tradisional.

Budaya Orang Melayu Sekanak sangat dipengaruhi oleh adat istiadat Melayu, dengan bahasa Melayu Sekanak sebagai salah satu identitas linguistik yang memperkuat ikatan mereka dengan leluhur.

Mereka menjalani kehidupan yang lebih menetap dibandingkan dengan Orang Laut, dengan rumah-rumah yang dibangun di darat serta komunitas yang tumbuh subur melalui hubungan sosial dan kekerabatan yang erat.

Pertanian dan perikanan menjadi andalan ekonomi masyarakat Melayu Sekanak, yang semakin memperkuat keterikatan mereka pada tanah dan laut di sekitarnya.

Orang Laut: Pelaut Tangkas dan Penguasa Samudera

Berbeda dengan Orang Melayu Sekanak, Orang Laut dikenal sebagai pelaut ulung yang hidup di atas air. Mereka mendirikan rumah panggung di dekat pantai atau di perairan, hidup sepenuhnya bergantung pada laut.

Lanskap Suku laut Lingga (foto: 1001Indonesia)
Lanskap Suku laut Lingga (foto: 1001Indonesia)

Sebagai kelompok maritim, mereka sangat terampil dalam hal navigasi dan pelayaran, kemampuan yang membuat mereka menjadi bagian penting dari jaringan perdagangan maritim Kesultanan Riau-Lingga.

Baca Juga:  Lemahnya Jaringan Internet di Kabupaten Lingga Jadi Kendala Pelayanan Mobile Pasport

Orang Laut memiliki tradisi yang mencerminkan kehidupan maritim, mulai dari cara mereka membangun rumah hingga ritual adat yang berhubungan dengan laut.

Laut bukan hanya sumber kehidupan, tetapi juga menjadi bagian dari identitas spiritual mereka. Kekerabatan di antara kelompok ini seringkali dibangun berdasarkan kebersamaan dalam ekspedisi penangkapan ikan atau pelayaran jarak jauh, memperkuat solidaritas antar anggota komunitas.

Interaksi dan Peran dalam Kesultanan Riau-Lingga

Walaupun memiliki perbedaan dalam gaya hidup, Orang Melayu Sekanak dan Orang Laut tidak hidup terisolasi satu sama lain.

Sebaliknya, keduanya memainkan peran penting dalam perkembangan ekonomi dan stabilitas Kesultanan Riau-Lingga, khususnya dalam bidang perdagangan dan pertahanan.

Perdagangan: Simbiosis di Laut dan Pesisir

Orang Melayu Sekanak yang terlibat dalam kegiatan perdagangan pesisir, memiliki peran penting dalam distribusi hasil bumi dan komoditas lain yang dihasilkan dari aktivitas pertanian dan perikanan.

Di sisi lain, Orang Laut dengan keahlian mereka dalam berlayar, menjalin hubungan dagang dengan berbagai pulau lain di Kepulauan Riau.

Suku laut sedang bermain dengan hewan peliharaannya di dalam sampan (foto: Dispar. Prov. Kepri)
Suku laut sedang bermain dengan hewan peliharaannya di dalam sampan (foto: Dispar. Prov. Kepri)

Peran mereka sebagai penghubung dalam jaringan perdagangan maritim ini memungkinkan pertukaran barang dari satu pulau ke pulau lain, sekaligus membuka jalur komunikasi antar komunitas yang berbeda.

Kedua kelompok ini saling bergantung satu sama lain dalam kegiatan ekonomi. Orang Melayu Sekanak menghasilkan barang-barang dari daratan dan pesisir, sementara Orang Laut memastikan distribusi barang tersebut melalui jalur laut yang luas. Kerjasama ini menjadi fondasi kuat bagi kemakmuran Kesultanan Riau-Lingga.

Pertahanan: Aliansi untuk Menjaga Kedaulatan Maritim

Selain peran mereka dalam perdagangan, kedua kelompok ini juga memiliki kontribusi penting dalam pertahanan Kesultanan. Ancaman dari luar, baik itu dari kekuatan kolonial maupun perompak, mengharuskan Kesultanan untuk mengandalkan kemampuan maritim dalam mempertahankan wilayahnya.

Baca Juga:  Sidak ke SPBB Sungai Buluh, Wakil Bupati Lingga Bersama APH Diduga Temukan Ratusan Ton Minyak Timbunan

Orang Laut, dengan keterampilan pelayaran mereka, menjadi pelindung di garis depan, mampu bermanuver di perairan dan mengawasi jalur masuk ke Kesultanan.

Seorang anak Suku laut yang sedang mendayung sampan (foto: Dispar. Prov. Kepri)
Seorang anak Suku laut yang sedang mendayung sampan (foto: Dispar. Prov. Kepri)

Sementara itu, Orang Melayu Sekanak, yang memiliki pengetahuan mendalam tentang kondisi pesisir, turut berperan dalam pertahanan di daratan, memastikan setiap serangan dari laut bisa ditanggulangi dengan cepat.

Kombinasi kekuatan ini menciptakan sistem pertahanan yang tangguh, di mana Orang Melayu Sekanak dan Orang Laut berkolaborasi untuk menjaga wilayah Kesultanan Riau-Lingga dari ancaman eksternal.

Hubungan Budaya: Benang Merah dari Warisan Melayu

Meski memiliki perbedaan dalam gaya hidup sehari-hari, Orang Melayu Sekanak dan Orang Laut tetap berbagi elemen-elemen budaya yang mendalam.

Sistem kepercayaan yang berbasis pada tradisi Melayu, seni, musik, dan bahkan beberapa aspek bahasa, menjadi titik persamaan yang menghubungkan kedua kelompok ini.

Meskipun interaksi sehari-hari mereka mungkin terbatas oleh perbedaan gaya hidup, hubungan budaya yang mereka miliki menunjukkan tingkat integrasi sosial yang tinggi di masa itu.

Pentingnya hubungan budaya ini tak bisa diabaikan, karena di sinilah letak kekuatan Kesultanan Riau-Lingga.

Diversitas budaya yang ada tidak hanya dipandang sebagai kekayaan, tetapi juga sebagai alat untuk menjaga kesatuan dan stabilitas sosial.

Kerjasama antara Orang Melayu Sekanak dan Orang Laut adalah contoh nyata bagaimana dua kelompok dengan latar belakang yang berbeda bisa hidup berdampingan dalam harmoni.

Kesimpulan: Harmoni di Tengah Perbedaan

Sejarah Kesultanan Riau-Lingga memperlihatkan betapa beragamnya budaya yang ada di wilayah ini, dan bagaimana perbedaan antara kelompok etnis seperti Orang Melayu Sekanak dan Orang Laut justru memperkaya kisah masa lalu.

Perbedaan dalam gaya hidup mereka mencerminkan adaptasi masing-masing terhadap lingkungan maritim, sementara kekerabatan dan hubungan mereka dalam perdagangan, pertahanan, dan budaya menunjukkan kerjasama yang kuat.

Baca Juga:  Kapolda Kepri Irjen Pol Yan Fitri Halimansyah Berikan Sorotan Positif pada Kunjungan ke Polres Lingga

Perpaduan unik antara keahlian Orang Laut dalam pelayaran dan keahlian Orang Melayu Sekanak dalam kehidupan pesisir menciptakan sinergi yang sangat penting dalam mendukung stabilitas dan kemakmuran Kesultanan Riau-Lingga.

Sejarah ini tidak hanya menjadi saksi atas pentingnya kolaborasi antar kelompok etnis, tetapi juga menegaskan bagaimana keragaman budaya mampu menjadi fondasi bagi perkembangan maritim di wilayah ini, yang terus bergema hingga hari ini. (mih/red)

Penulis: Adhe Bakong
Adhe Bakong lahir di Langkap, Desa Langkap, Kecamatan Singkep Barat, Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau, pada tanggal 16 Juli 1990. Sebagai seorang yang berdarah Suku Melayu Sekanak, Adhe tumbuh dalam lingkungan yang kental dengan budaya dan tradisi Melayu, yang kemudian membentuk pandangan dan karyanya di bidang seni dan sastra. Selain dikenal sebagai seorang penulis yang produktif, Adhe juga memiliki ketertarikan mendalam terhadap sejarah, sajak, dan seni. Kecintaannya terhadap sejarah membawa ia untuk terus menggali dan mempelajari jejak-jejak masa lalu, terutama dalam konteks sejarah lokal Kabupaten Lingga. Adhe juga sering mengemas pemikiran-pemikirannya dalam bentuk sajak, sebuah medium yang ia gunakan untuk mengekspresikan perasaan dan gagasannya dengan penuh makna.
Sebagai seorang seniman muda, Adhe Bakong telah menjadi salah satu wajah baru dalam dunia seni dan sastra di Kabupaten Lingga. Karyanya yang kaya akan nilai-nilai budaya lokal tak hanya membawa warna baru bagi lingkungannya, tetapi juga menjadi inspirasi bagi generasi muda lainnya untuk terus melestarikan warisan leluhur melalui kreativitas.

Related post

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *