Ihand.id | Lingga – Sebuah drama perjuangan politik dan ekonomi rakyat terkuak di jantung pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau.

Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Lingga baru-baru ini melancarkan serangan legislatif yang terarah, memimpin audiensi lanjutan bersama Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Kepulauan Riau.
Pertemuan ini bukan sekadar diskusi rutin, melainkan upaya terakhir untuk membongkar kebuntuan birokrasi yang selama ini menghambat legalisasi pekerjaan ribuan penambang timah rakyat di Lingga.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Di tengah jeritan kesulitan lapangan kerja yang mencekik, sektor penambangan timah rakyat muncul sebagai katup pengaman ekonomi bagi masyarakat pesisir dan pedalaman Lingga.
Namun, ironisnya, aktivitas krusial ini terganjal oleh satu dokumen tunggal yang tak kunjung terbit dari Jakarta: Penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR).
Aliansi Kepentingan dan Tuntutan Konkret
Audiensi yang berlangsung intens ini diterima langsung oleh Kepala Dinas ESDM Provinsi Kepri, Muhammad Darwin, beserta seluruh jajaran teknisnya.

Kehadiran Darwin beserta timnya menunjukkan bahwa pemerintah provinsi memahami betul urgensi dan tekanan yang dibawa oleh rombongan Lingga.
Rombongan DPRD Lingga tidak datang sendirian. Mereka didukung oleh sebuah aliansi kepentingan yang kuat, yang secara kolektif merepresentasikan seluruh spektrum masyarakat terdampak.
Hadir dalam pertemuan itu Asisten II Setda Lingga, yang memastikan bahwa aspirasi legislatif sejalan dengan kebijakan eksekutif di tingkat kabupaten.
Selain itu, hadir pula Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), yang mewakili kepentingan formal pekerja, perwakilan dari Forum Peduli Masyarakat Singkep Barat, yang membawa suara komunitas lokal yang paling terdampak, dan yang paling penting, perwakilan penambang timah Lingga sendiri, yang menjadi saksi hidup dari ketidakpastian hukum yang mereka hadapi sehari-hari.
Dalam pertemuan tersebut, DPRD Lingga dengan tegas menekankan perlunya langkah konkret dari pemerintah provinsi dan pusat. Mereka menuntut agar proses penetapan WPR segera diselesaikan.
Para legislator menilai, tanpa adanya kepastian WPR, masyarakat di Lingga tidak akan pernah bisa memperoleh Izin Pertambangan Rakyat (IPR).
Hal ini menciptakan lingkaran setan: menambang tanpa izin berarti melanggar hukum, tetapi tidak menambang berarti mematikan dapur keluarga.
Terperangkap di Titik Nol: Usulan WPR yang Terabaikan
Inti dari permasalahan ini terletak pada WPR. Pemerintah Kabupaten Lingga dan masyarakat telah berulang kali menyampaikan usulan WPR ke pemerintah pusat, sebuah langkah awal yang wajib dilakukan untuk memetakan area penambangan yang aman dan berkelanjutan.
Namun, hingga detik audiensi ini berlangsung, usulan WPR tersebut belum juga ditetapkan. Akibat langsung dari kelambanan birokrasi ini sangat menyakitkan: masyarakat belum bisa menambang secara legal.
Mereka terperangkap dalam zona abu-abu, selalu dihantui oleh potensi penertiban dan penangkapan, meskipun aktivitas mereka seringkali menjadi satu-satunya sumber penghidupan. Situasi ini bukan hanya masalah hukum, tetapi juga masalah keadilan sosial dan ekonomi.
Pemerintah dituntut untuk segera mencari jalan keluar dari kemelut birokrasi yang menjebak rakyatnya sendiri.
DPRD Lingga dengan lantang berharap Gubernur Kepri segera menyurati pemerintah pusat.
Mereka meminta Gubernur menggunakan pengaruh dan kewenangan provinsi untuk mendesak percepatan penetapan WPR Lingga.
Tujuannya sangat jelas agar para penambang bisa bekerja sesuai peraturan yang berlaku, menghasilkan pendapatan yang stabil, dan yang terpenting, berkontribusi secara sah terhadap perekonomian daerah melalui jalur pajak dan retribusi yang legal.
Maya Sari: Legalitas Demi Keberlangsungan Hidup
Penulis : Ivantri Gustianda
Halaman : 1 2 Selanjutnya
















