Dasar dan Landasan Hukum:
Pasal 14 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) menegaskan bahwa tugas dan wewenang kejaksaan dilakukan oleh jaksa agung, jaksa tinggi, dan jaksa.
Meskipun demikian, dalam konteks penanganan perkara di tingkat penuntutan, kewenangan P21 melekat pada penuntut umum yang ditunjuk untuk menangani perkara tersebut.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-006/A/JA/07/2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia secara jelas mengatur struktur dan pembagian tugas di lingkungan kejaksaan.
Masing-masing Kejaksaan Negeri memiliki bidang Pidana Umum (Pidum) yang membawahi penuntut umum yang bertugas dalam penanganan perkara pidana.
Meskipun Kejati tidak dapat secara langsung menerbitkan P21 untuk kasus Kejari, Kejati memiliki peran pengawasan dan pembinaan.
Kejati dapat memberikan supervisi, arahan, dan petunjuk teknis kepada Kejaksaan Negeri dalam penanganan perkara.
Jika terdapat kasus-kasus yang menjadi perhatian publik, atau jika ada indikasi kelalaian dalam penanganan perkara di Kejari, Kejati dapat meminta laporan, melakukan evaluasi, dan memberikan teguran atau rekomendasi.
Contoh Kasus:
Bayangkan sebuah kasus korupsi besar yang terjadi di suatu kabupaten. Kasus ini ditangani oleh Kejaksaan Negeri setempat.
Apabila dalam proses penelitian berkas perkara, penuntut umum di Kejari merasa ada kekurangan atau kejanggalan, mereka akan mengembalikan berkas (P19) kepada penyidik kepolisian.
Apabila penyidik sudah melengkapi dan berkas dikirimkan kembali, barulah penuntut umum Kejari dapat menerbitkan P21.
Dalam skenario ini, Kejaksaan Tinggi tidak akan datang dan langsung menerbitkan P21. Namun, Kejati bisa saja memanggil Kepala Kejaksaan Negeri dan jaksa penuntut umum yang menangani kasus tersebut untuk meminta penjelasan mengenai progres penanganan perkara, memberikan arahan terkait strategi penuntutan, atau bahkan membentuk tim asistensi jika kasusnya sangat kompleks dan melibatkan banyak pihak.
Intervensi Kejati lebih bersifat administratif dan manajerial, bukan substansial dalam penetapan P21.
Pengecualian (Dalam Konteks Pengambilan Alih Perkara):
Ada kondisi-kondisi tertentu di mana suatu perkara yang sedang ditangani oleh Kejari dapat diambil alih penanganannya oleh Kejaksaan Tinggi, atau bahkan Kejaksaan Agung.
Hal ini biasanya terjadi pada kasus-kasus yang memiliki dampak nasional, melibatkan pejabat tinggi, atau memiliki kompleksitas hukum yang luar biasa. Jika suatu perkara diambil alih oleh Kejati, maka secara otomatis seluruh proses penanganan perkara, termasuk penetapan P21, akan menjadi kewenangan penuntut umum di Kejati.
Namun, ini adalah mekanisme pengambilan alih perkara, bukan berarti Kejati bisa sembarangan mem-P21-kan kasus yang tetap berada di bawah penanganan Kejari.
Penutup:
Proses penetapan P21 adalah tahapan krusial yang menjamin bahwa sebuah kasus telah memenuhi standar kelengkapan dan kekuatan alat bukti sebelum diajukan ke meja hijau.
Ia adalah cerminan dari prinsip kehati-hatian dalam penegakan hukum. Sementara itu, meskipun Kejaksaan Tinggi memiliki peran supervisi yang kuat, kewenangan penetapan P21 secara langsung tetap berada di tangan Kejaksaan Negeri yang secara teknis-yuridis menangani berkas perkara tersebut.
Hal ini menjaga akuntabilitas dan profesionalisme masing-masing tingkatan kejaksaan dalam menjalankan tugas penuntutan demi tegaknya keadilan di Indonesia.
Penulis : Cahyo Aji
Sumber Berita : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Peraturan Jaksa Agung RI Nomor PER-006/A/JA/07/2017
Halaman : 1 2