“Motif dia memang untuk melakukan pemerasan. Namun karena pihak bank tidak menuruti permintaannya dan memilih melapor ke polisi, rencana tersebut gagal total,” ungkap Herman.
Dalam pemeriksaan, WFT mengaku memperoleh data-data tersebut dari dark web. Ia kemudian menjual data tersebut melalui media sosial dengan harga puluhan juta rupiah.
Tak hanya data perbankan, pelaku juga mengklaim memiliki data perusahaan kesehatan dan swasta di Indonesia.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Aktivitas jual-beli data ini telah ia lakukan sejak tahun 2020, bersamaan dengan pengakuannya sebagai Bjorka.
Atas perbuatannya, WFT resmi ditahan dan dijerat dengan pasal berlapis, yakni, Pasal 46 Jo Pasal 30, Pasal 48 Jo Pasal 32, Pasal 51 Ayat (1) Jo Pasal 35.
Undang-undang yang digunakan adalah UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang telah diperbarui melalui UU No. 1 Tahun 2024.
Dengan jeratan tersebut, WFT terancam hukuman maksimal 12 tahun penjara.
Meski polisi menegaskan bahwa WFT adalah sosok di balik akun Bjorka, publik masih mempertanyakan apakah ia benar-benar dalang tunggal atau hanya salah satu dari jaringan yang lebih besar.
Kasus ini sekaligus menegaskan bahaya peretasan dan jual-beli data pribadi, yang semakin marak terjadi di era digital.
Penulis : Redaksi
Halaman : 1 2