Fenomena fatherless atau ketiadaan ayah secara fisik maupun emosional telah dikaitkan dengan meningkatnya kasus gangguan mental, krisis identitas, hingga rasa percaya diri yang rendah.
“Melalui GATI, kami ingin menumbuhkan kesadaran bahwa pelukan ayah, ciuman di kening, atau tanya kecil ‘sudah sarapan?’ bisa jadi penopang utama bagi ketahanan jiwa anak-anak kita. Ini bukan hanya soal pengasuhan, tapi soal menyelamatkan masa depan,” ujar Wihaji.
Program GATI tak hanya mendorong ayah untuk mengantar anak ke sekolah. Gerakan ini mengajak para pria untuk menjadi pendengar yang baik, menjadi panutan yang membumi, dan membangun komunikasi hangat dengan anak-anaknya sejak usia dini hingga dewasa.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Di kota-kota dan desa-desa, mulai terlihat ayah-ayah muda yang dengan penuh cinta menuntun tangan kecil putra-putrinya, menyapa guru dengan senyum, dan melepas anak mereka masuk kelas dengan doa dalam hati.
Bagi banyak anak, ini mungkin kali pertama mereka merasa: “Ayahku ada di sini… untukku.”
GATI bukan hanya program. Ia adalah gerakan hati. Ia adalah pergeseran budaya, bahwa ayah tidak hanya pencari nafkah, tapi juga penjaga cinta.
Ayah tidak harus selalu kuat tapi harus hadir. Ayah tidak harus selalu tahu jawabannya tapi harus selalu mau mendengar.
Dalam satu langkah kecil menuju gerbang sekolah, ada cinta besar yang ditanamkan. Dalam genggaman tangan ayah, ada harapan yang diperjuangkan.
Dan dalam setiap “Selamat belajar, Nak,” yang terucap dari bibir seorang ayah, ada masa depan bangsa yang sedang dibangun dengan hati.
Penulis : Redaksi
Halaman : 1 2