Fenomena Kotak Kosong dalam Pilkada: Definisi, Aturan, dan Contoh Kasus
Ihand.id – Dalam ajang pemilihan kepala daerah (Pilkada), kotak kosong menjadi salah satu fenomena menarik yang kerap muncul. Keberadaan kotak kosong sering dianggap sebagai keuntungan bagi pasangan calon tunggal yang mengikuti Pilkada, padahal tidak selalu demikian.
Apa sebenarnya kotak kosong dan apakah sah jika pemilu dilaksanakan hanya dengan satu peserta? Berikut adalah penjelasan terkait arti, aturan, penentuan pemenang, serta contoh kasus kotak kosong dalam pelaksanaan Pilkada.
Definisi Kotak Kosong dalam Pilkada
Kotak kosong bukan berarti kotak suara yang kosong. Istilah ini muncul ketika hanya ada satu calon yang bertarung dalam Pilkada, sehingga dalam surat suara, posisi lawan dinyatakan dalam bentuk kotak kosong. Adanya calon tunggal tidak serta merta membuat calon tunggal tersebut otomatis diangkat menjadi kepala daerah. Dalam sistem Pilkada, pemilu antara pasangan calon tunggal melawan kotak kosong tetap harus dilaksanakan.
Menurut Titi Anggraini, anggota Dewan Pembina Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem), fenomena calon tunggal pada Pilkada 2020 adalah sebuah anomali demokrasi. Biasanya, calon tunggal terjadi di daerah dengan jumlah pemilih yang sedikit. Namun, di Indonesia yang memiliki jumlah pemilih besar, fenomena ini justru semakin sering terjadi. Penyebabnya beragam, mulai dari sulitnya memenuhi persyaratan bagi calon independen, sistem koalisi yang pragmatis, hingga gagalnya kaderisasi di level partai.
Aturan Kotak Kosong dalam Pilkada
Komisi Pemilihan Umum (KPU) memiliki aturan yang menjelaskan mekanisme pemilihan di wilayah dengan pasangan calon tunggal. Aturan ini telah diperbarui beberapa kali, dimulai dengan Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2015, kemudian diperbarui dengan Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2018, dan terakhir dengan Peraturan KPU RI Nomor 20 Tahun 2020. Aturan-aturan ini mengatur tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota dengan satu pasangan calon.
Penentuan Pemenang Pilkada dengan Kotak Kosong
Penentuan pemenang Pilkada dengan kotak kosong merujuk pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Calon tunggal dinyatakan menang jika memperoleh 50 persen dari total suara sah. Namun, jika suara yang didapat oleh kotak kosong lebih unggul, merujuk pada PKPU Nomor 13 Tahun 2018, KPU akan menetapkan penyelenggaraan pemilihan kembali pada periode berikutnya.
Contoh Kasus Pilkada Calon Tunggal vs Kotak Kosong
Fenomena kotak kosong di Pilkada 2020 meningkat dari sebelumnya. Beberapa kasus menarik perhatian masyarakat, salah satunya adalah Pilkada di Semarang. Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi dan Wakil Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu (Hendi-Ita) sebagai petahana dinyatakan menang setelah melawan kotak kosong.
Di Provinsi Kalimantan Timur, terdapat dua daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon melawan kotak kosong: Kota Balikpapan dan Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar). Pada Pilkada tersebut, pasangan calon tunggal berhasil mendapat suara terbanyak.
Sementara itu, pada Pilkada 2018 di Makassar, Sulawesi Selatan, kotak kosong menang mengalahkan pasangan tunggal Munafri Arifuddin dan Rachmatika Dewi. Kemenangan kotak kosong ini menjadi simbol perlawanan terhadap proses Pilkada di Kota Makassar, setelah calon petahana Ramdhan “Danny” Pomanto-Indira didiskualifikasi.
Fenomena kotak kosong menunjukkan kompleksitas demokrasi di Indonesia dan menjadi cermin dinamika politik yang terus berkembang.(ca)
Sumber :
jdih.kpu.go.id
Kompas.com
Bawaslu.go.id